Thursday, September 22, 2005

Repot Dikit, 'Napa?

Di antara sejuta (hiperbolis sedikit ah) kelakuan manusia Indonesia yang menyebalkan, salah satu yang paling saya nggak suka adalah kebiasaan untuk memotong antrian atau menolak untuk ikut antri. Terbayang kan bagaimana sebalnya kalau kita sudah capai-capai berdiri di antrian lalu ada orang lain yang dengan seenaknya menyerobot antrian di depan kita? Atau yang tidak kalah menyebalkannya, ada orang lain yang langsung saja menyerobot berdiri di depan loket/kasir. Padahal antrian sudah panjang meliuk.

Kebiasaan seperti ini kemungkinan disebabkan oleh keengganan orang Indonesia untuk sedikit bersusah-susah demi sebuah ketertiban (soalnya kalau penyebabnya adalah karena ingin dimaki orang dan didoakan nggak selamat, kan ya tidak mungkin. Eh, atau mungkin ya?). Yang terpenting dalam pikiran mereka adalah "yang penting saya senang", tak peduli orang lain jadi susah akibat kelakuan mereka. Buat mereka, antri merupakan suatu kosa kata yang haram jadah untuk diingat. "Pokoknya gue seneng, elo mau apa?", begitu kira-kira otak mereka akan bilang kalau otak memang bisa bicara.

Fakta lain yang bikin saya lebih sebal lagi, keengganan untuk mengantri (atau sebaiknya saya tulis: ketidakinginan, karena "enggan" berarti masih mau tapi harus disuruh-suruh dulu atau diancam setengah jongkok selama mengantri) tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan seseorang. Hal itu juga tidak berkorelasi dengan tingkat kekayaan seseorang. Bisa saja seseorang yang mengaku mahasiswa atau lulusan perguruan tinggi tapi pada kenyataannya tidak tergerak hatinya untuk berdiri pada barisan antrian yang telah ada. Atau ibu-ibu dengan anting mutiara menggantung dan gelang emas bergerincing di kakinya (ini ibu-ibu apa sapi ya?) dengan santainya menyerobot antrian. Alih-alih mereka akan bilang, "Salah elo sendiri, bisa cepet, kok pilih yang lama?" Yah, jadi kita yang disalahkan dan dianggap bodoh.

Sesungguhnya apakah kita memang bodoh apabila kita bersedia untuk bersusah-payah mengantri? Apakah intelektualitas kita berkurang karena kita mau sedikit lebih beradab? Tidak, saya rasa. Justru dengan kemauan kita untuk mengikuti suatu aturan tak tertulis untuk mengantri menunjukkan betapa kita memang sepadan dengan intelektualitas yang kita miliki, atau bahkan lebih dari itu. Kemampuan kita untuk mengalahkan ego kita demi suatu ketertiban dan keteraturan justru menampakkan keluhuran budi kita, bahwa kita manusia yang berbudaya.

Selama orang Indonesia masih bersemboyan "Gue seneng, elo senep*", selama itu pula orang kita akan terus dicap sebagai masyarakat dunia ketiga oleh mereka yang mengaku orang Barat. Jadi kalau kita jalan-jalan ke Amerika Serikat kemudian dianggap orang udik (baca: Belajar Naik Bus, Republika Minggu, 18 September 2005), jangan marah lah. Tanyakan ke diri kita, jangan-jangan sesungguhnya jiwa kita memang masih jiwa orang udik...

*senep = bahasa Jawa dari kata "susah"