Monday, April 28, 2008

Am I stupid or what?


The other day I had a conversation with a colleague who happens to be my junior (way way junior) back in the university. The conversation started with discussion over how students today have to cope with so many tasks. Every day there is at least one task to submit because lecturers of each subject give homework to their students.

"The tasks are too many. I used to trade my assignments with my friends from other classes, and on the other hand they will provide me with the assignment for another subject," prompted my colleague. "The lecturer wouldn't find out because we had different lecturer anyway," he gloated.


"But that was not the right thing to do," I protested but did not want sound too offending.

"How come? The lecturers were happy because the students submitted their assignments, and we're happy because we could prevent ourselves from not turning in the tasks. Everybody's happy, right?"

I did not know what to say. To me, that's against my heart. But then again, listening to all my colleague's defense, I'm thinking again: Am I just a plain stupid or what?


Monday, April 14, 2008

Ernest Shackleton

Last week I just watched a documentary film about Sir Ernest Shackleton and his journey aboard the ship Endurance during the year 1914-1916 for an expedition to the South Pole. I am always fascinated with how great leaders were able to provide excellent example of leadership, and this person is one of those people I admire. In the following article you can read my short story in Bahasa Indonesia about Mr. Shackleton. You can always check the Wikipedia or other websites, of course, if you want to explore more about this powerful character.




Ernest Shackleton - Pemimpin yang Peduli Anak Buah


Terdapat banyak cara untuk belajar menjadi bijak dalam hidup. Salah satunya adalah dengan mempelajari cerita hidup para tokoh yang inspirasional sehingga kita dapat memperoleh hikmah yang berguna sebagai panduan untuk kita dalam menapaki hidup dengan lebih baik.

Salah satu tokoh yang mengagumkan yang patut kita ketahui adalah Sir Ernest Shackleton. Dalam sebuah film dokumenter, pemirsa diajak menghayati keteladanan Shackleton selama memimpin sebuah ekspedisi untuk melintasi benua Antartika. Ekspedisi yang disebut Ekspedisi Trans-Antartika tersebut dimulai pada tanggal 8 Agustus 1914 menggunakan sebuah kapal bernama Endurance. Kapal tersebut dinamai demikian sesuai dengan motto keluarga Shackleton yang juga menjadi judul film ini, yakni, ”By endurance we conquer”.

Kerasnya perjalanan yang ditempuh dalam ekspedisi ini sudah tercermin dalam iklan lowongan untuk mencari anggota ekspedisi yang termuat di surat kabar The Times, berikut ini:

“Men Wanted: For hazardous journey. Small wages, bitter cold, long months of complete darkness, constant danger, safe return doubtful. Honour and recognition in case of success.”


Kendati dari iklan tersebut telah terbayang sebuah perjalanan penuh bahaya, lebih dari 5.000 orang mengajukan lamaran untuk ikut dalam ekspedisi Trans-Antartika tersebut. Pada tanggal 5 Desember 1914, Shackleton bersama anggota tim ekspedisi terpilih yakni terdiri dari 28 orang awak berpengalaman dan 69 ekor anjing meninggalkan Pulau South Georgia sebagai pulau terakhir yang mereka singgahi sebelum menuju Antartika.

Tantangan dari alam merupakan tantangan pertama dan terberat yang mereka hadapi. Misalnya saja, pada tanggal 17 Januari 1915, kapal Endurance menjumpai lautan es di hadapannya sehingga kapal tersebut tidak dapat bergerak hingga 7 bulan lamanya. Di sini Shackleton menunjukkan salah satu salah satu karakteristik hebatnya, yakni tidak menunjukkan satupun tanda pesimisme. Kemampuan Shackleton dalam berbaur dengan awak kapal dan menempatkan diri sebagai bagian dari sebuah tim sehingga tidak ada situasi ”elo-elo, gue-gue”, menjadikan tim ekspedisi Trans-Antartika tampil sebagai tim yang kompak.

Dengan kemampuan interpersonal yang luar biasa tersebut, Shackleton yang dijuluki ”Bos” oleh anggota tim ekspedisinya berhasil mengangkat moral tim yang tiap saat terancam mengalami kemerosotan akibat buruknya situasi alam yang melingkupi mereka saat itu. Yang lebih mengharukan adalah kerelaan Shackleton untuk menempatkan keselamatan anak buah di atas kepentingan dirinya sendiri. Tak segan Shackleton memberikan jatah makan yang dimilikinya ke anggota lainnya demi menjaga agar anggota tersebut tak kelaparan atau sakit.

Ujian paling berat terhadap karakter dan kepemimpinan Shackleton dimulai ketika pada bulan Juli 1915, pergerakan lapisan es mulai ”menyerang” kapal Endurance dan menyebabkan rusaknya buritan kapal. Pada tanggal 24 Oktober 1915, kapal Endurance mulai kemasukan air dan tiga hari berikutnya, pada tangal 27 Oktober 1915, Shackleton memerintahkan anggota ekspedisi untuk meninggalkan kapal. Kapal Endurance akhirnya tenggelam pada tanggal 21 November 1915.

Momen ketika Shackleton memerintahkan awak kapal meninggalkan Endurance merupakan momen yang paling kritis dalam ujian kepemimpinan Shackleton. Saat itu ia harus mempertaruhkan egonya yakni keinginan untuk menaklukkan Kutub Selatan demi menyelamatkan nasib anggota ekspedisi Trans-Antartika.

Di samping itu, Shackleton juga dituntut berani mengambil tindakan menembak mati anak anjing yang terlahir selama masa ekspedisi serta kucing peliharaan salah satu anak buahnya. Berkat langkah tersebut, jatah makan yang ada dapat dikonsentrasikan untuk orang dan anjing-anjing yang tersisa sehingga keselamatan hidup para awak kapal dapat dipertahankan.

Tantangan yang menghampiri Shackleton berikutnya adalah bukan lagi es, melainkan moral anak buahnya. Hal ini terjadi mengingat pada bulan-bulan berikutnya tim ekspedisi memulai perjalanan untuk meninggalkan Antartika dengan kapal penyelamat dan perlengkapan seadanya di tengah-tengah ganasnya cuaca dan kondisi Kutub Selatan. Dalam perjalanan melintasi bongkahan es di atas kereta salju (yang sesungguhnya merupakan kapal penyelamat) yang ditarik oleh kelompok anjing milik tim, sempat timbul protes dari salah satu anggota, namun oleh Shackleton protes tersebut berhasil dikendalikan. Kendati Shackleton berhasil menjaga otoritasnya saat itu, ia sangat marah terhadap anggota yang melontarkan protes tersebut karena sangat membahayakan kondisi moral anggota yang lain yang saat itu sudah lemah. Namun, berkat kepemimpinan Shackleton yang luar biasa, para anggota yang lain akhirnya tetap mengikuti perintah Shackleton.

Pada tanggal 9 April 1916, lapisan es yang selama ini dijadikan landasan lintasan kereta salju, patah. Shackleton pun memutuskan agar anggota tim segera memasuki kapal penyelamat dan mendayung kapal menuju pulau terdekat. Awalnya diputuskan bahwa kapal akan bergerak menuju Pulau Deception, namun pada tanggal 12 April 1916, diputuskan bahwa sesuai dengan perbekalan yang mereka miliki saat itu, Pulau Elephant adalah pilihan terdekat.

Setelah tujuh hari berlayar di atas tiga buah kapal penyelamat, tim ekspedisi akhirnya sampai di Pulau Elephant. Namun, kondisi Pulau Elephant yang berada di luar jalur lintasan kapal tidak memungkinkan bagi tim ekspedisi untuk berharap akan datangnya pertolongan. Karena itu, Shackleton memutuskan untuk berlayar menuju Pulau South Georgia. Ia memilih lima awak kapal terkuat saat itu dan yang paling berpengalaman untuk berlayar dengannya menggunakan salah satu dari tiga kapal penyelamat yang ada.

Perjalanan yang mereka tempuh menuju Pulau South Georgia merupakan perjalanan yang penuh bahaya, dengan ombak yang ketinggiannya dapat mencapai 16 meter dan cuaca buruk yang mempersulit navigasi. Namun, Shackleton dan kelima awak kapal akhirnya berhasil mendarat di Pulau South Georgia setelah 14 hari berlayar.

Perjalanan tidak berhenti di situ karena ternyata mereka mendarat di sisi pulau yang tidak didiami manusia. Dengan ditemani dua dari lima orang awak kapal yang ada, Shackleton melakukan perjalanan dengan berjalan kaki melintasi Pulau South Georgia selama 36 jam hampir tanpa henti menuju Stromness, yakni wilayah South Georgia yang berpenghuni. Ketiga orang tersebut menjadi orang-orang yang pertama kali berhasil melintasi pedalaman South Georgia, karena sebelumnya tak ada yang berhasil melintasi pedalaman pulau itu lebih dari 1 kilometer.

Sekali lagi, kepemimpinan Shackleton yang handal kembali terbukti dengan keberhasilannya memimpin rekan-rekannya dalam melintasi pedalaman South Georgia yang penuh lembah salju yang terjal dan badai salju yang ganas. Ketika suatu saat mereka beristirahat sejenak, Shackleton sempat berbohong dengan mengatakan kepada rekan-rekannya bahwa mereka telah tidur selama setengah jam, meski kenyataanya mereka baru lima menit tertidur. Namun, tanpa kedisiplinan serta daya juang Shackleton saat itu, mungkin mereka tidak mampu sampai di Stromness hidup-hidup.

Sesampainya di Stromness, Shackleton pun tidak tinggal diam. Dengan kerja keras, ia mengupayakan agar rekan-rekannya yang tertinggal di sisi lain Pulau South Georgia dan yang berada di Pulau Elephant dapat diselamatkan. Kendati memakan waktu cukup lama karena harus mengupayakan kapal yang dapat digunakan untuk berlayar ke Pulau Elephant, akhirnya pada bulan Agustus 1916, seluruh anggota tim ekspedisi yang berada di Pulau Elephant dapat diselamatkan.

Pada tahun 1921, Shackleton melakukan ekspedisi ulang ke Kutub Selatan, namun ketika tiba di Pulau South Georgia, ia menemui ajalnya setelah sebelumnya mendapat serangan jantung. Kendati demikian, kepimpinan Sir Ernest Shackleton yang luar biasa, yang selalu menempatkan anak buah di atas kepentingan dirinya dan menempatkan kekompakan tim di atas segalanya, akan dikenang selalu untuk selamanya dan dijadikan teladan bagi siapapun di seluruh penjuru dunia.



As always


Last Friday, I brought home some of works in the hope of getting them - or at least the majority of them - done. All to no avail, however, because I never stopped finding reasons to keep myself busy and away from working on them, reasons such as washing my clothes, shopping, dining out with my husband, going to my parent in law's home, and of course, sleeping and waking up late.

And it was just like a week before, and two weeks before, and three weeks before...




Friday, April 04, 2008

Changes

Explaining some of the changes I'm going through.



You are The Tower

Ambition, fighting, war, courage. Destruction, danger, fall, ruin.

The Tower represents war, destruction, but also spiritual renewal. Plans are disrupted. Your views and ideas will change as a result.

The Tower is a card about war, a war between the structures of lies and the lightning flash of truth. The Tower stands for "false concepts and institutions that we take for real." You have been shaken up; blinded by a shocking revelation. It sometimes takes that to see a truth that one refuses to see. Or to bring down beliefs that are so well constructed. What's most important to remember is that the tearing down of this structure, however painful, makes room for something new to be built.



Thursday, April 03, 2008

No longer the same

I was standing in a line to get my groceries to the cashier. Everything was normal at the grand hypermarket that day. Moms were busy with their groceries and their kids, either getting another pack of sugar for the family’s monthly consumption or trying to tame down their kids’ sudden hunger for snacks and candy bars they saw on TV the other day. Girls were talking loudly while browsing at the variety of body spray and trying each one out without actually making any purchase. Couples were cruising down the aisles, looking around for the goods they need.

Everything was normal that day except that I was standing there no longer as a celibataire, but as somebody’s wife. And to me, things would never be the same again.