Sunday, October 31, 2004

Kecil-kecil Jadi Pengusaha

Subhanallah, Ramadhan sudah 2 minggu ya! Ck, nggak kerasa. Kalau sudah mendekati Lebaran seperti ini, pas banget kalau kita... JUALAN!

Kebanyakan orang pasti merasa aneh mendengarnya. Buat mereka, sekarang ini waktunya MEMBELI sesuatu buat Lebaran dan bukan berjualan. Yah, harap maklum, otak saya ini otak dagang. Kalau lihat barang yang terpikir di pikiran saya adalah "Saya bisa nggak ya bikin/jualan barang ini?" Well, nggak selalu gitu juga sih, tapi sekali dua kali pikiran itu melintas di benak saya.

Saya nggak tahu apa ini ada hubungannya dengan keturunan, karena memang saya ini dilahirkan di keluarga yang sedikit banyak merupakan keluarga pedagang, terutama dari sisi ayah. Almarhum kakek saya dulu pedagang sapi (tipikal orang Madura) dan istrinya juga pedagang (tapi saya lupa nenek saya itu dulu jualan apa). Kalau pakde saya bisnisnya jual beli mobil bekas. Itu baru dari saudara dekat. Belum lagi saudara-saudara jauh yang rata-rata jadi pedagang.

Dari sisi ibu saya, ada beberapa saudara yang juga berprofesi sebagai pedagang, kendati tidak sebanyak pada keluarga ayah. Almarhumah mbah putri saya dulu pernah berjualan kue untuk membantu ekonomi rumah tangga. Lalu Om saya adalah peternak (dan sudah pasti penjual) sapi. Makanya, nggak heran kan kalau saya juga suka berjualan? ;)


Sejarah saya 'berbisnis' sudah dimulai sejak di bangku SD. Karena ibu saya adalah seorang dokter, beliau sering mendapat merchandise seperti bolpen, block note, map, dan printil-printil alat tulis lainnya dari dealer obat (obat legal, mind you, bukan obat terlarang). Beberapa merchandise tersebut lucu-lucu (bukan lucu yang bikin orang ketawa lho) bentuk atau warnanya, dan saya jadi senang mengumpulkannya. Tapi lama-lama barang-barang yang dibawa ibu kian banyak, dan "Ting"! Di otak saya yang waktu itu masih kelas 5-6 SD tercetus ide untuk menjual beberapa dari barang-barang tersebut.

Begitulah. Mulailah saya berjualan map, block note, bolpen, kaleng tempat bolpen, dan lain-lain. Saya ingat, map waktu itu satunya saya jual Rp 50, lalu block note Rp 200. Menyenangkan deh, karena saya jadi punya tambahan uang yang sebagian saya tabung dan sebagian buat jajan. Ceritanya, kecil-kecil udah tajir*. Tentunya dari sudut pandang anak kecil lho ya, dan tajirnya juga nggak tajir-tajir amat kok :)

Alhamdulillah orang tua saya tidak melarang saya jualan. Mereka sih senang-senang saja saya bisa menghasilkan uang sendiri. Kaget juga saya ketika saya baca suatu artikel. Di situ diceritakan ada orang tua yang melarang anaknya jualan. Alasannya, mereka punya cukup uang untuk membiayai uang jajan si anak. Mungkin mereka malu kalau ada orang lain yang tahu bahwa anak mereka berjualan. "Nanti disangka saya tidak bisa kasih uang jajan ke anak saya," mungkin itu yang dipikirkan para orang tua macam ini.

Wah, salah besar tuh pikiran seperti itu. Membiarkan anak mencoba berbisnis sebenarnya banyak manfaatnya. Setidaknya hal itu akan menanamkan percaya diri dan positive thinking (pemikiran positif) pada anak. Anak akan berpikir, "Wah, saya bisa juga ya menghasilkan sesuatu dari jerih payah sendiri." Selanjutnya anak akan berpikiran bahwa tidak ada yang bisa dikerjakan jika ia mau mencobanya. Anak juga akan terdidik untuk mulai mandiri. Ia jadi terbiasa untuk mengusahakan sendiri uang yang akan digunakan untuk membiayai pengeluarannya. Ujung-ujungnya, ya dia akan percaya diri. Terakhir, anak jadi belajar untuk menjadi enterpreneur alias wirausahawan. Negara ini butuh banyak wirausahawan, dan sangat bagus jika sejak kecil anak-anak telah dididik untuk menjadi wirausahawan.

Iya sih, itu kalau bisnisnya berhasil. Bagaimana kalau gagal? Nggak apa-apa. Dia akan belajar sesuatu, paling tidak belajar untuk merasakan pengalaman gagal. Orang tua cukup mendorong anak untuk tidak berputus asa. Kalau gagal terus? Yah, paling tidak, anak itu jadi sadar kalau doing business is not in his/her blood, hehehe.

Oke, mari kita kembali ke masa kini. Menjelang Lebarang tahun ini saya berjualan kemeja lengan panjang untuk perempuan. Maunya berjualan kemeja batik seperti tahun lalu, tapi nggak sempat nih cari barangnya ke Tanah Abang (iya, saya ambil barangnya dari sana). Besok insyaallah saya mulai menawarkan kue-kue lebaran. Yang bikin ibu dan saudara saya, sementara saya kebagian tugas promosi dan berjualan di kantor saya. Doakan jualan saya laku ya? Kalau bisa, sekalian aja cobain jualan saya. Enak lho! Mau beli? :)


*tajir = bahasa betawi untuk 'kaya'

Saturday, October 23, 2004

Ifthor

Huaaaaa!!!! Seminggu terakhir kerjaan saya bolak-balik Depok-Gatsu-Salemba. My life is on the road! Apalagi di Jakarta yang dalam tahun-tahun terakhir kemacetannya makin menggila. Mau pergi ke suatu tempat harus setidaknya 2 jam sebelumnya atau tanggung risiko telat. Andai ada mesin yang memungkinkan kita pergi ke mana-mana dalam sekejap, seperti pintu ajaibnya Doraemon... Yeah, in your dream, Met.

Tapi sudahlah. Mungkin di dalam perjalanan kita (saya, lebih tepatnya) malah jadi punya waktu untuk berpikir dan merenungi apa yang sudah kita lewati dan menyusun rencana untuk mengerjakan apa yang belum kita kerjakan sampai saat ini (a.k.a ngelamun), melihat sekeliling untuk mengambil pelajaran dari apa yang kita lihat dan kita dengar lalu bersyukur atas apa yang kita miliki/orang lain telah capai atau beristighfar atas kelalaian dan kesombongan kita (alias ngeliatin orang lain dan apa yang sedang ia lakukan), atau bila kita beruntung mendapatkan kursi di bis/kereta/disupiri, kita bisa sejenak beristirahat (maksud saya, tidur, gitu).

Lepas dari itu, gara-gara lebih banyak di jalan, akses ke komputer dan internet jadi menurun drastis dan saya jadi tidak sempat membuat posting untuk blog ini. Kalau buka blog sih masih dilakoni, tapi untuk bikin posting dibutuhkan waktu yang cukup dan feeling yang pas (alasan klise, hehehe). Hihihi, jadi malu karena disambangi teman-teman tapi posting baru tak kunjung ada. Akhirnya, di antara segabruk pe er yang masih harus saya kerjakan, plus di antara undangan-undangan ifthor atau buka puasa yang lamban namun pasti makin banyak menghampiri hp saya, tercapai juga keinginan bikin tulisan baru.

Tentang ifthor rasanya tahun ini nggak banyak undangan ifthor yang saya terima. Sejauh ini baru ada acara ifthor bareng teman-teman sekelas di S1 dulu (sudah diadakan kemarin) dan bareng teman-teman di Bursa Mahasiswa (BM)* nanti sore (Padahal saya bukan anggotanya lho. Habis dulu saya hampir setiap hari nongkrong di BM, jadi sudah dianggap keluarga sendiri, mungkin :P). Sementara tahun lalu, ada sekitar 4 undangan ifthor yang saya hadiri. Nggak banyak juga sih, tapi kan tetap saja masih lebih banyak daripada tahun ini.

Sedih juga rasanya karena kesempatan bersilaturahim jadi tidak ada. Mungkin kesibukan telah menenggelamkan banyak orang hingga sulit menaut janji untuk bertemu sejenak demi mempererat lagi hubungan yang telah merenggang. Tapi yang paling sedih adalah jika kesempatan untuk ifthor dengan keluarga sendiri makin berkurang, which is exactly what is happening to me. I miss you, my family.


*Bursa Mahasiswa, disingkat BM, adalah organisasi kemahasiswaan di FEUI yang bergerak dalam penyediaan buku, ATK, makanan dan minuman, dan barang-barang yang dibutuhkan mahasiswa. Semacam koperasi mahasiswa. Lokasi: Lobi A Kampus Baru FEUI Depok. Kalau ke sana, mampir ya! :)

Tuesday, October 12, 2004

Ramadhan 3 Hari Lagi!

Dari sekitar dua minggu lalu, gembar-gembor mengenai datangnya bulan suci bagi umat Islam di seluruh dunia sudah mulai ramai. Iklan acara televisi untuk penayangan selama masa Ramadhan sering 'berkeliaran' di layar kaca kita. Banyak orang jadi mulai tersiapkan secara mental - paling tidak mengingat-ingat atau mencari tahu tanggal berapa shaum Ramadhan dimulai (ya tanggal 1 Ramadhan dong, kok bingung sih? ^_^)

Di tempat saya bekerja sekarang, si bos minta pekerjaan-pekerjaan yang penting diselesaikan sebelum Ramadhan dimulai. Alasannya, pada saat Ramadhan fokus orang adalah pada ibadah. Ah, tapi kemudian bos saya mengedipkan matanya, karena maksudnya fokus kebanyakan orang di bulan Ramadhan adalah "Jam berapa adzan maghrib hari ini?".

Saya sebenarnya nggak suka kalau Ramadhan dijadikan alasan buat menurunkan produktivitas bekerja kita. Malah dengan berpuasa kita jadi bisa lebih berkonsentrasi pada pelaksanaan/penyelesaian pekerjaan kita, dan bukan pada "Siang ini kita lunch di mana ya?"

Tapi saya nggak munafik juga sih. Di tempat saya dulu bekerja, sering kali saya harus menahan kantuk, sementara bos ada di meja sebelah (maklum, di divisi saya, atasan dan bawahan bekerja di satu meja yang sama, yaitu sebuah meja yang panjanggg macam meja untuk jamuan makan). Biasanya jam 10 'momen-momen kritis' saya sudah dimulai. Sebenarnya jadwal tersebut berlaku juga untuk hari-hari di luar Ramadhan, tapi setidaknya pada saat itu ada secangkir kopi susu yang bisa diteguk untuk membuka mata ini. Sedang di bulan Ramadhan, it's impossible - tentu saja kecuali jika saya sedang 'berhalangan', hehehe.

Jadi apa yang saya lakukan? Yah, kalau sudah tidak dapat ditahan lagi, saya kabur saja ke toilet dan cuci muka. Atau buka-buka e-mail untuk mengalihkan perhatian ke hal-hal yang bisa bikin kepala ringan lagi. Atau sholat Dhuha. Tapi pernah sekali saya benar-benar mengantuk. Waktu itu saya berhasil bertahan membuka mata sampai waktu Dzuhur, meskipun itu harus melalui perjuangan yang amat sangat keras.

Begitu selesai sholat Dzuhur, saya sudah tidak tahan lagi. Kebetulan sholat Dzuhur di kantor saya waktu itu dilakukan di ruang rapat. Saat duduk berdzikir, saya melihat ada kolong di meja di sudut ruangan yang sepertinya pas untuk ... bersembunyi dan tidur. Daripada melalui jam-jam mendatang penuh dengan siksaan kantuk, maka saya memutuskan untuk menggelar sajadah saya di kolong meja tersebut dan berbaring lalu tidur.

Berhubung ngantuk sekali, ya tidak perlu waktu lama-lama buat saya untuk dapat terlelap. Sempat saya terbangun dan mendapati ada teman kantor yang sholat, tapi saya pura-pura tidak tahu teman saya itu tahu dan melanjutkan tidur saya. Ketika terbangun, badan saya pun segar kembali.

Entahlah. Sejak bekerja, rasanya toleransi tubuh saya untuk begadang makin berkurang. Kalau waktu tidur berkurang, harus digantikan. Kalau perlu waktu penggantiannya lebih lama, hehehe. Beginilah tanda-tanda penuaan...

By the way, selamat menunaikan ibadah shaum bagi teman-teman sekalian yang muslim. Mohon maafnya ya jika selama ini saya ada salah-salah. Semoga maaf yang teman-teman berikan bisa membuat saya memulai shaum Ramadhan tahun ini dalam kondisi yang 'suci'.

Selamat bershaum!

Monday, October 04, 2004

In Love and War: KRL*


Hop!

Finally I made it to get in. Oops, it's not over yet. Behind me, people were still pushing in to find their way in. 'Hm, I'd better turn to the right,' I said to myself. And better quick, because I hated the way this person behind me pushing me; He - I guessed the person must have been a guy - was like poking my bootie. As I found a nice spot to stand, I looked to my right to see who the person was, and yes, I got my guess perfectly right. A short guy in yellow shirt took a place nearby me and looked straight outside the window innocently.

For the rest of the journey, I kept my guard on and watched the guy through the corner of my eye restlessly. Nevertheless the hot air and my anxiety to get to Depok as fast as possible made me able to distract my thought away from the guy. There was an electric fan over my head, but alas, it was broken. The air wouldn't have been that hot if there weren't many people blocking the air circulation from and to the windows and the open doors.

Well, I'd better stand it. This was so far the fastest means of transportation during Friday's afternoon traffic in Jakarta. To rely on other means of transportation was not a wise thing to do as traffic was getting worse in this Indonesia's capital city. If I took a bus, the fastest time I got to Depok from Salemba would have been two hours. The difference would not be much if I went on my car - a time saving of +/- 30 minutes - plus it did not justify the weariness and the stress I had to bear upon driving through the streets of Jakarta.

So, to hell with the hot air and the crowd and the flirtious & harrassing guys and the ever-ready pickpockets. My aim was to get to the destination I was heading to as fast as I could and KRL suited my need the best. I guess this must have been the same reason so many people in the Great Jakarta area choose to get on this means of transportation despite all the inconvenience. Okay, we had busway, but was there a busway transportation running to and fro the outskirt of Jakarta?

Next reason: low ticket price. With 1,500 Indonesian rupiahs** (around US$ 1.5 cent), you could go as far from Depok to Jakarta Kota, or the other way around. Some people in fact do not bother to go to the ticket booth and buy the ticket. If one has to travel that far, it sure is a real bargain. With ticket price so low, it is logical that travelling security and convenience are luxuries we can only dream of.

But do we have to take the poor treatment from the KAI (PT. Kereta Api Indonesia, the KRL operator) for granted all of our lives? KRL is a mass transportation and we are human beings, not animals nor lifeless things. Shouldn't the government make it one of their top priorities, providing a more humane means of transportation for the people?

Okay, in one point, the government has succeeded in providing a cheap means of transportation. But the homework does not stop to that. I wish the government officials would be willing to take time to ride on the KRL and they would understand what I'm trying to say here. But nah, I reckon they will be too proud to jostle in the KRL with other passangers. Or if they would, they'll ride on the locomotive or on the business class. Yeah, they might as well take a chopper...

Judging all that, it is urgent to make a great deal of changes regarding KRL. Yet I believe there will be some people who go against the changes. To mention a few, there's those people selling beverages, food/snack, candies and cigarettes, fruits, women accessories, books and maps, etc. you name it - who can really get to your nerve if they keep pushing their way onward amidst the dense crowd; and then beggars and handicapped people looking for some money by singing or simply dragging their body over the KRL floor; train singers or music bands (a phenomenon which perhaps we can only find in Indonesia) who sometimes are more of a nuisance than provide entertainment; traders who find KRL to be the cheapest transportation there is to take their bulks of merchandise; and you might never guess this: parents with children who just learn to walk - KRL is a playland for their children!

To wrap my posting, I guess this motto will be just perfect for KRL:
KRL - Find a lot MORE meaning to the word 'travel'!


*Kereta Rel Listrik or Electrically-powered Train
**Tariff for the economy class