Saturday, December 25, 2004

Di Radio, Aku Dengar...

Di radio
aku dengar
lagu kesayanganmu
...

(Kugadaikan Cintaku - Gombloh)


Bukan, bukan karena ketika saya membuat posting ini waktunya bertepatan dengan malam minggu, malam yang dirutuki 'aku' dalam lagu di atas. Tulisan saya menyinggung-nyinggung lagu tersebut lebih karena hari ini saya baru saja selesai membaca kumpulan artikel tulisan almarhum Umar Kayam, "Sketsa-sketsa Umar Kayam - Mangan Ora Mangan Kumpul", dan dalam buku tersebut ada cuplikan potongan lagu seniman yang juga sudah almarhum, Gombloh. Rasanya kenangan masa kecil melesat ke depan mata saya ketika saya menyimak potongan lagu tersebut.

Saat lagu Gombloh itu menjadi hit, saya masih kecil, kira-kira masih kelas dua-tiga SD. Berhubung lagu seniman nyentrik itu cukup catchy di kuping anak-anak (Tapi apa sih yang tidak catchy di telinga anak-anak? Jingle iklan, lagu anak-anak, lagu dewasa, lagu berbahasa Inggris, lagu berbahasa India, lagu berbahasa Mandarin, sumpah-serapah dalam sinetron, you name it...), maka dengan mudah saya mengingat lagu tersebut dan bahkan merekamnya dalam ingatan masa kecil saya yang masih indah dikenang-kenang hingga kini, meski sekarang tidak secara utuh lagu tersebut saya ingat syairnya. Apalagi lagu tersebut sering diputar di radio Suzana, radio paling ngetop di Surabaya (menurut saya) yang beruntung punya penggemar setia seperti saya (lho?).

Tapi ya itu, saya suka lagu tersebut tidak sampai yang sukaaaa sekali. Paling saya suka lagu tersebut karena memang sedang ngetop dan rumah Gombloh itu satu kompleks dengan rumah saya, jadi rasanya lain begitu, jadi ikutan bangga (Duh, bolehnya bangga padahal siapa coba yang ngetop? Terus, kita kan cuma tetanggaan saja, hehehe. Sudah begitu dia dan saya itu tetangga jauhhhhh - tuh, lima 'h' berarti jauh sekali kan?). Saking bangganya sampai saya pernah sepedaan dengan teman saya ke rumah Gombloh, di saat matahari Surabaya sedang terik-teriknya (yang dengan sukses bikin kulit saya yang aslinya hitam jadi tambah gosong). Sampai depan rumah Gombloh, ya sudah, lihat-lihat dari luar siapa tahu ada Gombloh, kemudian lanjut lagi keliling-keliling kompleks. Hm, benar-benar dunia kanak-kanak yang begitu sederhana dan indah.

Lagu-lagu dari masa kecil yang justru membawa kesan khusus tersendiri, beberapa di antaranya justru adalah lagu-lagunya Ari Wibowo dan Ervina. Saya sudah lupa judulnya, tapi waktu saya cari di Google, ada satu lagu yang dinyanyikan mereka berdua, judulnya 'Angin Surga'. Tahu tidak, kenapa berkesan? Waduh, sebenarnya konyol alasannya. Soalnya, waktu itu lagu Ari Wibowo-Ervina dikonteskan di radio Suzana. Maksud saya, radio itu bikin lomba nyanyi lagu duet mereka berdua.

Nah, saya saking seringnya dengar lagu duet tersebut, saya jadi hafal lagu itu dan kepikiran untuk ikut kontes tersebut bareng ... Om saya. Om saya itu jarak umurnya cukup dekat (tapi juga cukup jauh) dan kita berdua sudah seperti orang kurang waras saja, nyanyi-nyanyi lagu yang dilombain di lantai atas ... tempat menjemur baju. Andai saja ada yang mendaftarkan kita ikut lomba tersebut saat itu, bisa-bisa kita jadi peserta termuda dan ternekat. Lha wong suara pas-pasan, bocah ingusan pula, kok berani-beraninya ikut-ikut lomba orang dewasa?!

Tapi coba memang saya benar-benar ikut lomba itu ya, saya dan om saya mungkin sudah diliput koran walau cuma koran setempat, hehehe. Ari Wibowo, Ari Wibowo, ke mana ya penyanyi yang selalu berkaca mata gelap itu? Jadi kangen dengar lagu-lagu ringannya...

Madu
di tangan kananmu
Racun
di tangan kirimu
Aku tak tahu mana yang
akan kau berikan padaku
...

(Madu dan Racun - Ari Wibowo)


Thursday, December 23, 2004

Ehehehe, Metty Bandel, Ma!

Iya, mestinya saya masih dalam masa off dulu nih dari nge-blog, berhubung pingin fokus kus kus kus ke tesis. Tapi gimana dong nih, udah kangen untuk bikin tulisan, jadilah mampir ke blogger.com dan ... voila! Here I am now :D

Ceritanya Kamis minggu kemarin saya sempat sakit. Baru Selasa kemarin terasa benar-benar sembuh. Sakitnya biasa, typhus (baca: tipes). Eh, aneh ya, saya bilang 'biasa'? Yah, berhubung saya anak pertama - saya selalu percaya bahwa anak pertama adalah anak 'percobaan', i.e. 'percobaan' orang tua kita jadi orang tua untuk pertama kalinya, sehingga nggak heran kalau anak pertama sering sakit-sakitan (Well, mungkin ini berlaku buat saya aja, sih.) - sakit typhus sih biasaaa. Pada dasarnya saya nggak boleh terlalu capek, tapi yah, mau gimana lagi. Wong sudah tuntutan pekerjaan makanya bolak-balik Salemba-Gatsu-Depok dilakoni saja. Yang biasanya baik-baik saja ndilalah jadi tidak kuat. Ya sudah lah. Namanya juga waktunya sakit, jadi terima saja. Mudah-mudahan bisa jadi penggugur dosa-dosa di masa lalu.

Nah, sekarang sudah puas tulis-tulis, maka waktunya bagi saya untuk... kembali offline :) Eiya, ingat, saya sudah sembuh jadi tidak perlu dikirimi bunga, oke? Chocolate will do, though ;)


PS.
Buat yang bingung baca tulisan saya sebelumnya ('La vie c'est tres dur'), tenang. Nanti akan saya bikin terjemahannya... dalam bahasa Madura, hahahaha!!!


Tuesday, December 07, 2004

La vie c'est tres dur

On le sait
Mais il est devenue plus dur
Ce jour la