Saturday, November 19, 2005

SMS Lebaran

Singkat tapi berkesan. Begitulah SMS lebaran.
Berikut beberapa SMS lebaran unik/lucu yang saya terima tahun ini.

#1
Mang Diran beli ikan patin.
Met lebaran maaf lahir batin.

#2
Awan…
Melati…
Salju…
Susu…
Kapas…
Vanila…
Hati kita semoga seputih itu…
Minal aidin wal faidzin, maaf lahir & batin…

#3
Ma’ap…
Bukannya saya mau ngganggu.
Ma’ap…
Bukannya saya mau ikut-ikutan juga.
Tapi ma’ap…
Saya bener-bener mau minta ma’ap…
Kan Idul Fitri…
Ma’ap… lahir batin ya.

#4
Dear friend,
if Jennifer Anniston can forgive Brad Pitt,
or Nia Daniaty can forgive Farhat…
Why can’t you?

#5
Beli es di warung Bu Rima.
Taruh di piring santap bersama.
SMS (lebaran) sudah saya terima.
Teriring pula maksud yang sama.

#6
Barangsiapa minta maaf lewat sms,
maka ia akan disiksa di hari pembayaran pulsa.
Mohon maaf tidak kirim parsel karena dilarang KPK.
Mohon maaf atas segala kekhilafan.

#7
Hati kadang tak sebening XL,
tak secerah MENTARI.
FREN, aku mohon SIMPATI-mu
untuk BEBAS-kan aku dari sgala dosa.
Mohon ma’afkan lahir dan batin ya.

#8
Dhahar kupat kuahipun santen.
Menawi wonten lepat nyuwun pangapunten.
Selamat hari raya Idul Fitri 1426 H,
mohon maaf lahir & batin.

#9
Ambil galah metik rambutan.
Kalo ada salah kata n perbuatan mohon dimaafkan.
Taqabbalallahu minna wa minkum.
Taqabbal yaa kariim…

#10
Songo papat, limo enem.
Menawi lepat, nyuwun pangapunten.
Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin.

#11
Assalamualaikum.
Gue tau elu semue punye saleh ame gue.
Tapi gue ndiri juga banyak salehnye ame elu pade.
Jadi gimane kalo kite salin maafin.
Afdol ye…
Wassalam.

#12
Seiring gemuruh takbir,
jagad raya bertasbih.
Desir angin kemenangan berhembus
tuk sampaikan maaf atas segala dosa dan khilaf yang tertoreh.
Minal aidin wal faidzin, mohon maaf lahir dan batin.

#13
Sebening & sesejuk air wudhu, sesuci Al Quran,
semerdu alunan zikir, seindah sholat 5 waktu.
Mohon maaf lahir batin.
Semoga silaturahmi selalu di hati.
Selamat Idul Fitri 1426 H.

#14
(>-<)
(‘o’, )
(,)”)”)
Can I stay here in your “Inbox”
& wait ‘till Idul Fitri,
so I’ll be the first to greet you
Taqabbalallahu minna wa minkum.
Mohon maaf lahir & batin.

#15
Sebelum Ramadhan usai,
Sebelum Idul Fitri tiba,
Sebelum sinyal hilang,
Sebelum operator sibuk,
Sebelum SMS pending,
“Selamat Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin”.


Thanks to Iggi, Nanang, Slamet Wibowo, Yaya, Mila Novita, Bimo Hasnan, Adhi Setyo, Carlita, Rini Yulius, Indri, Kokko, Umar Abdullah, Wahyu, Lala, & Sandra.

Friday, November 11, 2005

Rindu!

Assalaamu'alaykum...

Halah halah, udah bulan Syawal aja ya? Artinya selama Ramadhan kemarin saya nggak update blog ini sama sekali. Ck ck ck. Ke mane aje loe Met? Sebenarnya sih kesibukan ya rumah-kantor-kampus aja. Mestinya bisa disempatkan menulis. Tapi setiap kali kepingin bikin posting, dorongan untuk mengerjakan hal lain lebih riuh mengetuk hati. Jadilah baru sekarang saya menulis lagi.

Kepada teman-teman sesama muslim, saya mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri. Selamat menggapai hari kemenangan setelah sebulan melaksanakan ibadah shaum Ramadhan sebagaimana diperintahkan Allah SWT kepada orang-orang beriman. Semoga seluruh rangkaian amal ibadah kita pada bulan tersebut diterima Allah dan semoga pula Allah mengampuni segala dosa kita sehingga kita kembali fitri. Amiin.

Alhamdulillah, rasanya Ramadhan tahun ini bagi saya lebih baik dibanding tahun lalu. Meski ritme pekerjaan kantor cenderung tak berubah (lembur tetap jalan, euy!), suasana khidmat Ramadhan entah kenapa lebih terasa di hati, sehingga ketika Ramadhan berakhir, ada perasaan duka menyelinap di jiwa. Mungkin gema Ramadhan yang membahana di televisi, radio, dan berbagai media lainnya dalam bentuk syiar dakwah para ustadz yang lebih gencar; adzan lima waktu yang biasanya dilewatkan begitu saja kini terdengar merdu di telinga; suara Dian Sastrowardoyo di radio kesukaan saya membacakan tulisan Mbak Neno Warisman membawa pikiran saya sejenak melihat ke dalam diri; atau nasyid yang di luar Ramadhan tak pernah terdengar, selama Ramadhan sering teralun merdu. Belum lagi berkumpulnya keluarga ketika makan sahur dan terkadang pada saat berbuka. Semuanya meski terlihat sebagai hal-hal kecil tapi mungkin merupakan hal-hal utama yang menambah kekhusyukan jiwa menyelami makna dan manfaat Ramadhan.

Lebih jauh lagi, Ramadhan tahun ini rasanya saya bisa sedikit lebih baik dalam meningkatkan ilmu sabar saya. Tahun-tahun belakangan memang banyak cobaan dan ujian membayangi hidup saya. Tak pelik-pelik amat, memang, tapi toh tetap dibutuhkan banyak kadar kesabaran untuk menghadapinya. Dengan shaum Ramadhan, jiwa ini seperti diingatkan kembali untuk selalu berserah diri pada Sang Ilahi Rabbi. Yah, ke mana lagi kita meminta kalau tidak kepada Yang Maha Menguasai atas segala sesuatu? Ibadah tarawih di penghujung malam turut menguatkan ikhtiar hati. Tetes air mata ketika bersujud pun termaknai sebagai wujud upaya ikhlas hati atas perjalanan hidup yang telah tergaris.

Allahu Rabbi, baru saja berpisah dengan Ramadhan, telah rindu pula saya untuk menyambutnya lagi! Ah, tak salah bila banyak yang berharap Ramadhan hadir sepanjang tahun. Moga Allah sudi memanjangkan usia kita agar kita dapat bertemu dengan Ramadhan tahun depan. Amiin.

To All: For all my mistakes and wrongdoings, please kindly forgive. Thank you!

Thursday, September 22, 2005

Repot Dikit, 'Napa?

Di antara sejuta (hiperbolis sedikit ah) kelakuan manusia Indonesia yang menyebalkan, salah satu yang paling saya nggak suka adalah kebiasaan untuk memotong antrian atau menolak untuk ikut antri. Terbayang kan bagaimana sebalnya kalau kita sudah capai-capai berdiri di antrian lalu ada orang lain yang dengan seenaknya menyerobot antrian di depan kita? Atau yang tidak kalah menyebalkannya, ada orang lain yang langsung saja menyerobot berdiri di depan loket/kasir. Padahal antrian sudah panjang meliuk.

Kebiasaan seperti ini kemungkinan disebabkan oleh keengganan orang Indonesia untuk sedikit bersusah-susah demi sebuah ketertiban (soalnya kalau penyebabnya adalah karena ingin dimaki orang dan didoakan nggak selamat, kan ya tidak mungkin. Eh, atau mungkin ya?). Yang terpenting dalam pikiran mereka adalah "yang penting saya senang", tak peduli orang lain jadi susah akibat kelakuan mereka. Buat mereka, antri merupakan suatu kosa kata yang haram jadah untuk diingat. "Pokoknya gue seneng, elo mau apa?", begitu kira-kira otak mereka akan bilang kalau otak memang bisa bicara.

Fakta lain yang bikin saya lebih sebal lagi, keengganan untuk mengantri (atau sebaiknya saya tulis: ketidakinginan, karena "enggan" berarti masih mau tapi harus disuruh-suruh dulu atau diancam setengah jongkok selama mengantri) tidak berhubungan dengan tingkat pendidikan seseorang. Hal itu juga tidak berkorelasi dengan tingkat kekayaan seseorang. Bisa saja seseorang yang mengaku mahasiswa atau lulusan perguruan tinggi tapi pada kenyataannya tidak tergerak hatinya untuk berdiri pada barisan antrian yang telah ada. Atau ibu-ibu dengan anting mutiara menggantung dan gelang emas bergerincing di kakinya (ini ibu-ibu apa sapi ya?) dengan santainya menyerobot antrian. Alih-alih mereka akan bilang, "Salah elo sendiri, bisa cepet, kok pilih yang lama?" Yah, jadi kita yang disalahkan dan dianggap bodoh.

Sesungguhnya apakah kita memang bodoh apabila kita bersedia untuk bersusah-payah mengantri? Apakah intelektualitas kita berkurang karena kita mau sedikit lebih beradab? Tidak, saya rasa. Justru dengan kemauan kita untuk mengikuti suatu aturan tak tertulis untuk mengantri menunjukkan betapa kita memang sepadan dengan intelektualitas yang kita miliki, atau bahkan lebih dari itu. Kemampuan kita untuk mengalahkan ego kita demi suatu ketertiban dan keteraturan justru menampakkan keluhuran budi kita, bahwa kita manusia yang berbudaya.

Selama orang Indonesia masih bersemboyan "Gue seneng, elo senep*", selama itu pula orang kita akan terus dicap sebagai masyarakat dunia ketiga oleh mereka yang mengaku orang Barat. Jadi kalau kita jalan-jalan ke Amerika Serikat kemudian dianggap orang udik (baca: Belajar Naik Bus, Republika Minggu, 18 September 2005), jangan marah lah. Tanyakan ke diri kita, jangan-jangan sesungguhnya jiwa kita memang masih jiwa orang udik...

*senep = bahasa Jawa dari kata "susah"

Wednesday, August 24, 2005

A disaster or a blessing?

Okay, one file printed, another one to go. Well, make that five.

I was arranging the pile of papers I had just printed when suddenly ... the computer was off and so were the lights. My God. What joke were You playing to me?

Thursday, 18 August 2005
That day I had a load of things on my to-do list. Actually I had intended to come to the office on Wednesday to finish some of my works so that my Thursday's burden would come a bit lighter. But nope, I didn't come because somehow I felt so tired that day, I spent almost the whole day dozing off. It was supposed to be a holiday, anyway (i.e. Indonesia's independence day), so I thought I deserved a little break.

I arrived at the office much later than I wanted (as always). The first thing I planned to do was downloading some files from the mailbox and printing them because they were needed for the training that morning. So, I open mail.yahoo.com and there, the files I needed were already in mailbox. Good. What I needed to do next was download one file... open it... edit here and there, and... print. Okay,
one file printed, another one to go. Well, make that five.

I was arranging the pile of papers I had just printed when suddenly ... the computer was off and so were the lights. My God. What joke were You playing to me? My head was instantly filled with all the tasks in my to-do list, all dancing ferociously waiting to be executed right away. I tried to calm off, hoping that the lights would soon be on and that it was just a temporary electricity shut down as it usually happened.

Well, no. I forgot how I knew it at the first place, but it turned out that the electricity shut down didn't happen in my office area, it occurred in almost all Java, Bali and Madura. Good God! I didn't know whether I had to thank God for this or went panic. I had to submit two works that day because that day was the deadline. What to do? What to do?

Trying to make an effort, or at least wanting to be seen making some effort, I went to the neighbour offices which apparently had a generator set (genset, to make it short). One office had a genset but it could only accomodate for the lighting and air conditioning, not for other electrical apparatus. And I found that out after carrying around an HP 1010 laser jet printer to that office. That made a good 300 m-journey.

The other office was much better. It allowed for the using of computers and printers and all other electricity equipments. So I dazed off back to my office to get the printer and then carried it back to the "much better" office. You think the problem's solved? NO. The computer in the "much better" office did not provide for CD drive (I needed it to install the printer), so I had to go back to my office to get a laptop. To get the laptop, I had to wait for the person who was in charge of keeping maintenance of laptops, who was out having lunch or whatever he was doing at that time. Since I hated to wait, I ran to my car and got my own laptop which was actually a lousy one and proved its lousiness because it couldn't read the printer's installation CD.

I went back to my office and finally I got the laptop I needed. Then, I walked back (actually, "climbed back" suited more perfectly because the location of the "much better" office was on the second floor) heaving the heavy laptop. I did all the steps needed to take to get the printer installed. So, I opened the file, select "print" from the command box and waited. What happened later was that I had to re-try installing the printer.

The installing effort had to be repeated at least five times before I managed to print. Then came the announcement: "Ladies and Gentlemen, to spare the genset energy, we have to turn off the genset in approximately half an hour". WHAT??? I still had more files to print yet I had to hear this?!

Feeling drained, I went back to my office and did my afternoon prayer (sholat Dzuhur). What else could I do? Better whine about all this mess to the Ultimate Creator. Like an answered prayer, after I finished my prayer, the lights went on. But I was too tired. There was no way the deadlines could be met that day. So, after a lingering moment at the end of that day, I thought: Was today really a disaster or a blessing from God?


Friday, July 08, 2005

Alone again

Friend:
"You know, I was once mistaken. I meant to introduce F to Mas XYZ one day".
Me:
"Uh huh" (listening intently).
Friend:
"But then I couldn't find him in his room. So we went back to F's cubicle. There F told me that she was about to marry in three weeks! When I met Mas XYZ, I told him to forget my idea of introducing F to him".
Me:
"So Mas XYZ really means it when he said he's going to look for a second wife."
Friend:
"Oops! Didn't you know it? He just divorced his wife".
Me:
(Stunned)


Too many times I heard of the word "cerai" (English: divorce) being spoken lately. It's no longer a word that I frequently hear being said on TV; It's a word that now becomes spoken so often like the word "getting a baby", because it's not just celebrities who dare to commit divorce nowadays. Sadly, the "divorce" virus has gotten to people close to me. To mention a few, there have been my ex-office mate and current office mate; my ex-campus colleague; and my cousin who have been through the awful experience.

The reason of separation is different between one person to another, but the grand theme is the "unfit that cannot be tolerated anylonger". For someone who hasn't got married like me, this epidemy creates a new sense of fear. Previously the question that keeps bugging me is "Will I ever get married?", now a nouveau tingling question adds to my things-to-worry list: When I eventually get married, will my marriage survive to the day I (or my partner) die(s)?

Men.
When they don't worry, they complain.

Tuesday, May 31, 2005

Narco

Gue suka kesel deh, kenapa ya gue sekarang kok suka gampang ngantuk? It's annoying banget, apalagi kalau lagi rapat di ruang yang gak begitu gede, dan pesertanya hadap-hadapan. Gak enak banget kan, jadi ketahuan banget ngantuknya. Gue pernah gitu, dua kali atau tiga kali malah, terkantuk-kantuk di tengah-tengah rapat. Padahal gue jadi notulen lho. Tulisan gue udah yang gak tau kayak gimana bentuknya, mleot-mleot gak jelas. Pastinya banyak omongan peserta rapat yang gue miss, hehehe. Nggak tahu deh, waktu itu ada yang notice atau nggak.

Pernah saking nggak tahannya, gue permisi aja ke toilet. Biar segeran gitu ceritanya. Pas deket toilet, gue ketemu office girl. Gue bilang ke dia, "Mbak, yang lagi rapat di ruang rapat sana nggak disediain minum ya?" Emang kita-kita di ruang rapat belum disediain minum sama sekali. Tapi kalau gue gak ngantuk, gue gak akan sampe minta-minta kayak gitu :P

Pas gue balik lagi ke ruang rapat, mata gue udah agak bisa diajak kompromi. Tapi gak lama, kliyeng... ngantuk lagi gue. Untung gak lama rapatnya udahan. Kalau nggak, bisa-bisa gue ketiduran beneran di rapat itu. Mana rapatnya di kantor klien, lagi. Gawat kan kalau kejadian.

Kalau udah ngantuk gitu, salah satu 'penyelamat' adalah kopi. Di kantor lama, pagi-pagi gue selalu bikin kopi. Favorit gue: kopi krim, dengan formula satu sendok teh kopi instan dan dua sampai tiga sendok teh krim, terus gulanya dua atau dua setengah sendok teh. Atau langsung aja yang sachet, either indocafe cappucino atau indocafe 3 in 1. Tanpa kopi di pagi hari, bisa-bisa kepala gue nubruk monitor gara-gara ngantuk.

Sekarang sih udah gak musti tiap hari ngopi. Berhubung di kantor gue yang baru gue bisa datang agak siangan, ya udah, gue tidur dulu aja abis sholat subuh biar di kantor gak terlalu ngantuk. Tapi ya tetep, kalau ngantuk eskapologi gue adalah kopi. Kopi yang gue minum sekarang nescafe 3 in 1 yang original. Yang krem udah gue cobain tapi kopinya kurang kerasa.

Tapi itu kalau gue lagi di kantor. Kalau lagi di luar, gue suka beli kopi siap minum. Gak usah mikirin Starbucks atau Excelso. Yang gue maksud itu minuman kopi dalam kemasan. Favorit gue: Cappuccini rasa Espresso, atau kalau itu gak ada, kopi Esco (bener gak sih? Itu tuh, kopi yang diiklanin ama Mat Solar) juga boleh. Biasanya gue beli kopi Esco di kampus Depok. Kalau yang Cappuccini belinya di kantin dekat kantor. Saking seringnya beli Cappuccini, gue sampe punya trademark tersendiri di antara temen-temen kantor gue: Metty (cewek yang) demenannya minum kopi.

Kalau ada yang suka kopi racikan model Starbucks atau cafe-cafe yang jualan kopi baca tulisan gue ini pasti ngetawain selera kopi gue. Yah, beginilah gue, kalau dikasih kopi 'beneran' alias kopi espresso asli, langsung pusing gue. Tapi masa bodo ah. Yang penting kan gue enjoy. Masa mau maksain minum kopi pahit demi gengsi. Nggak ah, makasih. Udah gitu mahal pula. Gak worth it ama kenikmatannya yang cuma sejenak.

Ngomongin tentang ngantuk, kalau udah ngantuk, gue bisa tidur gimanapun posisi gue waktu itu. Mau lagi berdiri di kereta, lagi naik bis, hayo aja. Kan kalau ngantuk kita tinggal merem. Lucunya kemarin gue naik taksi dan pas di taksi itu gue ngantuk banget. Maklum, malam sebelumnya nggak nyenyak tidurnya. Pas udah hampir sampai tujuan, gue bangun. Karena kena lampu merah, gue tengak-tengok aja ke samping kanan dan kiri, siapa tahu ada pemandangan yang menarik yang bisa bikin gue gak ngantuk lagi. Gak sadar, pas lagi lihat ke luar, mata gue merem dan yak, gue ketiduran lagi deh. Orang yang ada di mobil di sebelah taksi gue mungkin udah senyum-senyum ngeliat gue yang ketiduran dengan posisi duduk tegak gitu.

Kalau dipikir-pikir, penyebab gue suka ngantuk adalah pola tidur gue yang emang gak beres. Gue suka baru tidur jam 12 atau jam 1 malam. Jam 4 atau 1/2 5 gue udah bangun, terus jam 5-an gue kadang-kadang tidur lagi. Ntar jam 7 atau jam 8 gue bangun lagi deh. Kalau dihitung memang jumlah tidur gue udah cukup. Tapi kenapa masih suka ngantuk ya? Mungkin karena suka tidur malam, gue jadi rada anemia. Yang bikin lebih parah, gue jarang atau bisa dibilang gak pernah olah raga. Makanya jadi gampang lemes dan ngantuk. Mudah-mudahan aja ini bukan tanda-tanda sakit diabetes, soalnya kalau dari indikasi lemes dan ngantuk, gue udah memenuhi syarat :(

Biar gini, gue masih belum masuk kategori narcolepsy, alias orang yang bawaannya ngantukkkk mulu. Eh, di Festival Sinema Perancis (FSP) 2005, ada lho film tentang penderita narcolepsy. Judulnya 'Narco'. Cek aja jadwalnya di www.ccfjakarta.or.id. Nah, karena malam ini gue ada rencana nonton salah satu film FSP, lagak-lagaknya besok gue bakal ngantuk mulu. Alamat ngopi lagi deh. Untung ada kopi, dan untung besok gak puasa. Kalau besok puasa, ya sudah, gue menyerah! Tidur aja lah, enaknya...

Wednesday, April 27, 2005

Summer is here

Phew, wasn't it hot these days in Jakarta?
I guess we should welcome summertime because it's already here, and make ourselves get used to shirts drenched with sweat, people's (including ours) smelly body odor that gets smellier now more than ever, and sweaty sleep.

So: Welcome, summertime!

Monday, April 25, 2005

Hidup Tanpa Internet = Susah!!!

Waktu nyokap tanya, "Langganan internetnya nggak usah diterusin ya?", gue nekat aja bilang, "Ya udah." Berhubung langganan internet harus bayar sampai Rp 600 ribuan dan bokap udah pensiun, ya wis lah, nggak apa-apa kali internetnya diputus. Toh, masih bisa buka di kantor atau pergi ke warnet. Selain itu, nggak tiap hari ini buka internet.

Akhirnya bulan Maret kita nggak langganan internet lagi deh. Pertama-tama sih nggak apa-apa, karena provider internetnya juga nggak langsung putusin internetnya. Jadi nggak kerasa deh kalau waktu itu udah nggak langganan internet lagi. 'Twas a good thing krn gue pas msh butuh koneksi internet.

Tahu-tahu, pertengahan April pas gue lagi butuh internet, koneksinya ternyata udah diputus beneran sama providernya. Wuehh, memble dah gue, terutama karena bulan ini kebutuhan koneksi internet gue lagi tinggi-tingginya. Mana internet kantor lagi offline... Huaaaah, tambah merana lah gue. Mailbox yahoo gue udah penuh, nyaris 1000 e-mail gak kebuka. Trus, begitu mau kirim-kiriman e-mail sama klien... wuuppss, maaf Pak. Internet kantor mateee!!!

Nggak lucu juga sih alasan matinya internet kantor. Pertama karena kabelnya dimakan tikus. Begitu problem itu sudah solved, eh, ternyata labkom yang selama ini jadi pusat server udah lama nggak bayar tagihan internet ke Telkom, dan baru ketahuan sekarang. Wadawwww, why does it all happen at the same time?!!!???

Untung gue orang Jawa. Jadi apapun yang terjadi, ya sudah lah. Hhhh....

P.S.
Habis ini gue mau patungan 50:50 ama nyokap buat langganan internet lagi.
Tapi nggak tahu deh, kapan kita mulai pasang internet, lah wong gue disuruh nyari info tentang provider internet aja males. Alamat nginternet di warnet lagi deh, hiks, hiks.

Wednesday, April 06, 2005

Alone in the crowd

Okay, okay, for those who wonder what on earth I'm putting these pictures on my blog for without any comment, well, here's the deal. My time is very limited nowadays to surf the net and so I decided to post these pictures first and tell the story later. Yet, time flew away and it happens that I can make some scribbles just now.

The moral of the pictures is this... . Hahaha, there's no moral story in the pictures. I just want to share my story of going on Parahyangan (yup, it's Parahyangan, Fitri. Not Argo Gede) to Bandung. Nothing much to tell you, actually. I went there because I had to coordinate a training there for a BUMN. It was a rush journey to the train station because there were some problems related to another project I was handling and it caused quite a delay to my plan to Bandung.

And so I made it to take the last Parahyangan train (20.30). The journey was all right. It was just that I had to go there with a male senior and I didn't feel all comfortable with the situation. But what should I say? If I hadn't travelled with him, I would have been lost because it was already late and I had no clue about Bandung. And it was quite "creepy" because the female passengers on the train I was on were only two or three, including me. So, in one way, I ought to thank him for accompanying me in a quite "creepy" journey to the unknown land (Hahaha! Bandung? An unknown land? How would I ever get to Paris if I say that?!).


Dua mas jabrik dua kursi di depan kursiku - Quite a view.

These pictures were my only "souvenirs" for you. Me, my senior besides me who slept almost all the way to Bandung, all the other passengers, and a cup of Dunkin Donut's iced choco. Tsk...


Me and Dunkin'

Thursday, March 03, 2005

Sayang Kertas! Sayang Kertas!

Di antara macam-macam acara tivi, salah satu acara yang suka saya nontonnya (artinya bukan saya selalu tonton tapi kalau ada kesempatan nonton ya saya tonton) adalah acara tivi yang berkaitan dengan rumah, arsitektur dan desain interior. Senang rasanya lihat rumah yang bagus-bagus, apalagi kalau penataan interiornya asri dan cantik. Sambil nonton, saya membatin, kapan ya (interior) rumah saya bisa sekeren itu?

Bukannya sombong, tapi potensi ke arah situ sih ada, thanks to my Mom with her high and artistic taste *winking to my Mom. Jadi begitu anda main ke rumah saya dan masuk ke ruang tamu, anda akan melihat kursi dan meja serta hiasan-hiasan tertata rapi. Begitu pula jika anda memasuki ruang tengah/ruang keluarga. Tapi begitu anda masuk ke ruangan kamar, terutama kamar anak-anak dan kamar untuk tamu, huihhh, buku-buku dan kertas bertebaran di mana-mana!

Saya bilang sih susah kalau suatu keluarga punya anak yang masih sekolah atau kuliah. Yang namanya kertas dan buku menggunung itu inevitable alias tidak bisa dihindarkan. Masalah jadi lebih pelik apabila ada anggota keluarga yang punya kecenderungan menyimpan segala macam berkas dan buku dan secara periodik tidak mau memeriksa apakah berkas-berkas dan buku-buku yang ada memang masih diperlukan atau sudah waktunya dibuang.

Di keluarga saya, masing-masing anggota keluarga senang menyimpan berkas ini dan itu, tapi semua masih meluangkan waktu untuk meng-'audit' berkas mana yang masih patut disimpan dan mana yang bisa dikilo ke tukang rombeng. Hanya saja kalau kita menyinggung masalah 'periodisitas' dan 'tega', kita akan bicara hal yang sama sekali berbeda. Yang jelas, dipandang dari kedua segi ini, maka saya akan jadi orang yang paling tidak terorganisir*) di keluarga saya.

Pertama, masalah 'periodisitas'. Jujurnya sih masalah ini akan terselesaikan jika saya lebih rajin meng-'uprek-uprek' segala tumpukan buku atau kertas di kamar saya tanpa harus menunggu teriakan-teriakan dari Mama (even at this age *sigh). Saya sebenarnya bisa menyampaikan seribu alasan kenapa saya tidak segera menyentuh gunungan buku/kertas tersebut, tapi jawaban jujurnya ya itu tadi: MALASSS!

Kedua, masalah 'tega'. Nah, untuk perkara yang ini saya masih belum menemukan obatnya. Saya tuh suka tidak tega membuang kertas/buku, apalagi kalau:
  • masih ada sisi kosong di kertas tersebut, misalnya pada kertas bekas fotokopian, yang membuat saya berpikir betapa mubazirnya kertas tersebut kalau dibuang padahal masih bisa digunakan untuk menulis atau menge-print.
  • kertas tersebut berisi bahan-bahan kuliah atau pengetahuan yang sayangnya saat itu tidak sedang saya butuhkan sehingga saya simpan untuk keperluan di masa depan (yang entah kapan akan tiba dan kalaupun tiba, saya bingung juga mencarinya di antara tumpukan kertas-kertas/buku yang ada.
  • ada gambar-gambar lucu/bagus di kertas/buku itu yang bisa digunakan untuk membuat kartu ucapan or else.
Dengan pekerjaan dan hobi saya yang selalu berkaitan dengan membaca, maka dapat disimpulkan, di manapun saya tinggal nanti, tumpukan buku dan kertas akan terus ada, baik buku/kertas yang masih digunakan maupun yang sudah berstatus (atau sebenarnya lebih pantas jadi) buku/kertas bekas. Saat ini saya sedang berniatan menjilid kertas bekas yang ada untuk dijadikan buku tulis. Kalau buku tulis made from kertas bekas itu saya jual, laku nggak ya? I wonder...


*) Sebenarnya saya ingin bilang 'paling jorok' tapi untuk kenyamanan anda membaca tulisan ini, frase tersebut dibahasakan ulang :D

Saturday, February 19, 2005

To be busy is to live

With no teaching schedule and shrinking office assignments, January should have been a heaven for me. No need to rush to the train station to get to Depok during office-closing hours and no need to think up a teaching plan while still jostling with works from my boss. Clients' orders were diminishing in the first two months of the year as commonly happening to business consultants in Indonesia whose major clients are government companies (BUMNs). It should have been a moment of pleasure ... if only I didn't have my thesis to ponder.

As some of you have already known, I had worked on my thesis since early last year and it had become an unfinished business for me. I think everybody agrees, having unfinished business will make our life miserable. We can't and won't stop thinking about it, anytime, anywhere. It wears our mind and our mental state, and may enventually lead to physical exhaustion. For women, it either will make us eat more or the other way around. For dead people, their restless soul will wander and haunt, so some people said (which I don't buy).

Such things happened to me so it was such an immense sense of relief when I was finally through with my thesis. I felt like celebrating it, like having a vacation or doing nothing for a change. Yet it was just too good to be true. It was already near the end of January when I was done with my study and assignments from my boss started to pour in.

The assignments were not the big, mind-boggling, forehead-wrinkling kind, yet. I just needed to make confirmation calls, surf the Internet to get source materials, draft proposals, attend classes and perform as a mentor, and make confirmation calls. Not much but may take time, quite long time which made me unable to get a brief break for myself.

The positive side is perhaps I'd get to go home smiling a bit wider when I walk home after receiving my monthly pay, next month. Still, there are things all the money in the world can't buy, and time is one of them. In days like this, I wish I could go back to my years as a student, the time when I could easily skip a class to join the rally to bring down the president.

But hey, no use crying over spilled milk. Let's just walk on and look out to see whether tomorrow brings a better state to me, to you, to us.

The sun'll come out
Tomorrow
Bet you by a dollar that tomorrow
There'll be sun
Just thinking about
Tomorrow
Clears away the cobweb and the sorrow
'Till there's none
("Tomorrow" from the movie Annie: The New Musical)


Tuesday, January 25, 2005

Cakes, anyone?

Come join this small celebration of my graduation from the postgraduate program! :)
I know they're only pictures. But hey, people say a picture speaks a thousand words.

So, cakes, anyone?



From left to right:
  • Brownies Roulade
  • Strawberry Cake
  • Assorted Cakes
  • Chococheese Snow Cake

    Pictures are taken from http://www.sedapsekejap.com

    • Sunday, January 23, 2005

      What is she doing in that place?

      Being a teaching staff sometimes brings annoyance to your life because suddenly you have to pay attention to your speech and attitude. No more freedom to act because you are expected to behave properly and accordingly as your profession demands you to do so. Once other people catch you doing something unworthy like reading comics, you will face a serious threat of honor degradation.

      And that worries me because I'm a fan of comics. Japanese comics or manga, to be precisely. No, I'm not a maniac who will read any manga there is in a store's book shelf. I only fancy the "serial cantik" kinds of manga. Well, a bit of "Kung Fu Boy", "Dragon Ball", or "Detektif Conan" is okay for me, but no "Crayon Sinchan", please.

      Still, you can say I'm a fan because I do make and have collection of manga. I started my collection way back since I was still in senior high, which means like 10 years ago. Phew, quite a long time, huh? Right now I guess I have almost 100 mangas, and the number keeps on growing, especially after I find out that there are kiosks selling mangas at cheaper price. It's like feeding a hungry lion with meat - the supply meets the demand.

      However, as I mentioned earlier, I don't have the luxury to linger at those kiosks or manga section in Gramedia for fear of meeting my student(s), or worse, my boss/senior lecturers. I know the fear sounds so unreasonable, yet that is what happens - I'm afraid those people see me in the kiosks/manga section and ask questions like: "What is that teaching staff doing in a manga kiosk? Shouldn't she buy something of more value like reference books?" Whoa!

      So far, I haven't been 'caught' making manga transaction (as far as I know) and I hope it stays that way. But I once got caught reading manga in my office. It was a security guard who caught me redhanded. Guess what he said. He said: "I never thought a staff would read books like that." Darn. Had I not been too eager to read the sequel of a manga, I would not have got caught and lost face to a security guard. All I could do then was smiling stupidly and putting away the manga I've been reading.

      I was trying to make myself busy doing something else when not long after that, the security guard came back to me and said: "Erm, do you mind if I borrow your comic sometime?"

      *Speechless*

      En Fin...

      Finally, the day I have long been dreaming of had come.
      Ladies and gentlemen, I'm proud to inform you that on Wednesday, January 19, 2005, it had been officially declared that:

      I PASSED MY THESIS EXAM!

      Alhamdulillah! I'm glad that it's over (although not really over yet because I still have to make some correction here and there) - the agony of getting the thesis approved and thus giving me the chance to take the thesis exam. Sometimes I think the length of time I had to undertake before I could go for the exam did not justify the time it took for my exam which had been so brief.

      I no longer care, though, because what matters now is that I have kept my promise to my 'stakeholders'. I even think of giving something as a present for my lecturer who had become my thesis guide - something which I barely thought of because I grew a bit pessimistic that I could make it with my thesis, what with such a perfectionist characteristic of his.

      But now, gone are the clouds and here comes the sun! So glad, so glad, so glad!!!

      Friday, January 14, 2005

      1001 Reasons to Smoke

      Merokok karena???


      *Gasp!*

      I couldn't believe my eyes when I noticed a post with the above title by an old friend of mine on the friendster bulletin board. It was shocking for all I know she was not the type of woman who would enjoy air full of cigarette's smoke, let alone do the smoking herself.

      So, full of curiosity, I clicked the bulletin post and ... I don't need to explain more, just read the lines below and have a good laugh (or at least a smirk)!


      From: .S..

      Date: Thursday, January 13, 2005 8:22:00 PM

      Subject: Merokok karena???

      Message:

      rina: Memberikan lapangan kerja bagi buruh rokok, dokter, pedagang asongan, dan perusahaan obat batuk.

      mEiYa KaRiN: Film Koboy pasti lebih gaya kalau merokok sambil naik kuda, soalnya kalau sambil ngupil susah betul.

      TuTi EfeNDi: Bisa menambah suasana pedesaan/nature bagi ruangan ber AC dengan asapnya, sehingga se-olah2x berkabut.

      maNik: Sekarang rokok udah ada rasa Cappucino, segera akan muncul rasa strawberry, manis pedas, ayam bawang, kari ayam, dll

      Deasy: Bahan inspirasi dan pendukung membuat Tugas Akhir, sehingga seharusnya dicantumkan terimakasih untuk rokok pada kata sambutan....

      tEgUh: Membantu program KB dan mengurangi penyelewengan karena konon katanya merokok bisa menyebabkan impoten.

      ongkie: Biar Ga CULUN !!!

      andrie: sebagai alat bantu pernapasan.. dari pada gw sesek napas..

      ----B E T A---- buat temen insomnia gue... palagi pas bete ga dapet gebetan...hik hiks (='<)

      =santi= teman dikala suka dan duka, ga pernah ninggalin kita bahkan di masa2 terburuk pun (ga punya duit,masih bisa ngeteng @500)..i love u poetrasampoerna

      ^iputz^ mengurangi dosa melakukan aborsi, karena dengan merokok dapat mengakibatkan gangguan kehamilan

      oki: Buat ngusir nyamuk..!!!

      sa: buat ngilangin bt kalo lagi alone...(tapi kalo kebanyakan mandul gak ya??)

      marcell: biar tambah ganteng.....

      komank~~buat alternatif kalo lagi gak ada cimenk

      grace: buat ngilangin bau tai / kentut dikala sedangbuang air besar...

      mituto: untuk menambah pemasukan cukai pemerintah,sehingga gaji pegawai negeri bisa tetep lancar terbayar, dan uang saya kembali.

      rafi: membantu tanaman mendapatkan co2 untuk fotosintesis, sehingga menghasilkan buah yang sehari2 dimakan terasa nikmat.

      {Pitkud}karena ga suka menungging

      :: _rief ::membantu dalam rutinitas sehari2 dan dapat menghilangkan bau badan karena brubah jadi bau roko

      [:: fRitz/SemiSoniC ::]Merokok karena Dirokok itu dilarang agama, dosa,dan ngga bisa sewaktu2 bisa dilakukan.

      Riri karena... ga punya pacar!! (apa sih!?!?)

      M@wanz Karena ada api, dan gak dibakar di kedua ujungbatangnya

      :: ms bEcKs :: mau diphoto... buat ngingetin doang kalo gue merokok itu ternyata jelek bangetttt.... (apaan cobaa!?)



      Monday, January 03, 2005

      Hai Orang Indonesia, Sadarlah!

      Hai orang Indonesia!
      Mana harta yang kau kumpulkan?
      Mana rumah yang kau dirikan?
      Mana keluarga yang kau bangga-banggakan?
      Semua luluh habis tersapu ombak lautan Hindia.
      Maka jika kau tak tersadar jua,
      sungguh terlaknat wahai kau orang Indonesia!

      (in memoriam korban Tsunami di Aceh dan Sumatra Utara, 27 Desember 2004)


      Mungkin Sekali Saya Sendiri Juga Maling
      Oleh: Taufiq Ismail

      Kita hampir paripurna menjadi bangsa porak-poranda,
      terbungkuk dibebani hutang dan merayap melata sengsara di dunia.
      Penganggur 40 juta orang,
      anak-anak tak bisa bersekolah 11 juta murid,
      pecandu narkoba 6 juta anak muda,
      pengungsi perang saudara 1 juta orang,
      VCD koitus beredar 20 juta keping,
      kriminalitas merebat di setiap tikungan jalan
      dan beban hutang di bahu 1600 trilyun rupiahnya.

      Pergelangan tangan dan kaki Indonesia diborgol
      di ruang tamu Kantor Pegadaian Jagat Raya,
      dan di punggung kita dicap sablon besar-besar
      Tahanan IMF dan Penunggak Bank Dunia.
      Kita sudah jadi bangsa kuli dan babu,
      menjual tenaga dengan upah paling murah sejagat raya.

      Ketika TKW-TKI itu pergi lihatlah mereka bersukacita
      antri penuh harapan dan angan-angan di pelabuhan dan bandara,
      Ketika pulang lihat mereka berdukacita
      karena majikan mungkir tidak membayar gaji,
      banyak yang disiksa malah diperkosa
      dan pada jam pertama mendarat di negeri sendiri diperas pula.

      Negeri kita tidak merdeka lagi, kita sudah jadi negeri jajahan kembali.
      Selamat datang dalam zaman kolonialisme baru, saudaraku.
      Dulu penjajah kita satu negara, kini penjajah multi-kolonialis banyak bangsa.
      Mereka berdasi sutra, ramah-tamah luar biasa dan banyak senyumnya.
      Makin banyak kita meminjam uang, makin gembira
      karena leher kita makin mudah dipatahkannya.

      Di negeri kita ini, prospek industri bagus sekali.
      Berbagai format perindustrian, sangat menjanjikan, begitu laporan penelitian.
      Nomor satu paling wahid, sangat tinggi dalam evaluasi, dari depannya penuh janji,
      adalah industri korupsi.

      Apalagi di negeri kita lama sudah tidak jelas batas halal dan haram,
      ibarat membentang benang hitam di hutan kelam jam satu malam.

      Bergerak ke kiri ketabrak copet, bergerak ke kanan kesenggol jambret,
      jalan di depan dikuasai maling, jalan di belakang penuh tukang peras,
      yang di atas tukang tindas.
      Untuk bisa bertahan berakal waras saja di Indonesia, sudah untung.

      Lihatlah para maling itu kini mencuri secara berjamaah.
      Mereka bersaf-saf berdiri rapat, teratur berdisiplin dan betapa khusyu'.
      Begitu rapatnya mereka berdiri susah engkau menembusnya.
      Begitu sistematiknya prosedurnya tak mungkin engkau menyabotnya.
      Begitu khusyu'nya, engkau kira mereka beribadah.
      Kemudian kita bertanya, mungkinkah ada maling yang istiqamah?

      Lihatlah jumlah mereka, berpuluh tahun lamanya,
      membentang dari depan sampai ke belakang,
      melimpah dari atas sampai ke bawah,
      tambah merambah panjang deretan saf jamaah.
      Jamaah ini lintas agama, lintas suku dan lintas jenis kelamin.

      Bagaimana melawan maling yang mencuri secara berjamaah?
      Bagaimana menangkap maling
      yang prosedur pencuriannya malah dilindungi dari atas sampai ke bawah?
      Dan yang melindungi mereka, ternyata,
      bagian juga dari yang pegang senjata dan yang memerintah.

      Bagaimana ini?

      Tangan kiri jamaah ini menandatangani disposisi MOU dan MUO (Mark Up Operation),
      tangan kanannya membuat yayasan beasiswa, asrama yatim piatu dan sekolahan.

      Kaki kiri jamaah ini mengais-ngais upeti ke sana ke mari,
      kaki kanannya bersedekah, pergi umrah dan naik haji.

      Otak kirinya merancang prosentasi komisi dan pemotongan anggaran,
      otak kanannya berzakat harta, bertaubat nasuha dan memohon ampunan Tuhan.

      Bagaimana caranya melawan maling begini yang mencuri secara berjamaah?
      Jamaahnya kukuh seperti diding keraton,
      tak mempan dihantam gempa dan banjir bandang,
      malahan mereka juru tafsir peraturan dan merancang undang-undang,
      penegak hukum sekaligus penggoyang hukum, berfungsi bergantian.

      Bagaimana caranya memroses hukum maling-maling
      yang jumlahnya ratusan ribu,
      barangkali sekitar satu juta orang ini,
      cukup jadi sebuah negara mini,
      meliputi mereka yang pegang kendali perintah,
      eksekutif, legislatif, yudikatif dan dunia bisnis,
      yang pegang pestol dan mengendalikan meriam,
      yang berjas dan berdasi.
      Bagaimana caranya?

      Mau diperiksa dan diusut secara hukum?
      Mau didudukkan di kursi tertuduh sidang pengadilan?
      Mau didatangkan saksi-saksi yang bebas dari ancaman?
      Hakim dan jaksa yang bersih dari penyuapan?
      Percuma
      Seratus tahun pengadilan, setiap hari 8 jam dijadwalkan
      Insya Allah tak akan terselesaikan.

      Jadi, saudaraku, bagaimana caranya?
      Bagaimana caranya supaya mereka mau dibujuk, dibujuk, dibujuk
      agar bersedia mengembalikan jarahan
      yang berpuluh tahun dan turun-temurun sudah mereka kumpulkan.
      Kita doakan Allah membuka hati mereka,
      terutama karena terbanyak dari mereka
      orang yang shalat juga, orang yang berpuasa juga, orang yang berhaji juga.
      Kita bujuk baik-baik dan kita doakan mereka.

      Celakanya, jika di antara jamaah maling itu ada keluarga kita,
      ada hubungan darah atau teman sekolah,
      maka kita cenderung tutup mata,
      tak sampai hati menegurnya.

      Celakanya, bila di antara jamaah maling itu ada orang partai kita,
      orang seagama atau sedaerah,
      kita cenderung menutup-nutupi fakta,
      lalu dimakruh-makruhkan dan diam-diam berharap
      semoga kita mendapatkan cipratan harta tanpa ketahuan.

      Maling-maling ini adalah kawanan anai-anai dan rayap sejati.
      Dan lihat kini jendela dan pintu rumah Indonesia dimakan rayap.
      Kayu kosen, tiang, kasau, jeriau rumah Indonesia dimakan anai-anai.
      Dinding dan langit-langit, lantai rumah Indonesia digerogoti rayap.
      Tempat tidur dan lemari, meja kursi dan sofa, televisi rumah Indonesia dijarah anai-anai.
      Pagar pekarangan, bahkan fondasi dan atap rumah Indonesia sudah mulai habis dikunyah-kunyah rayap.
      Rumah Indonesia menunggu waktu, masa rubuhnya yang sempurna.

      Aku berdiri di pekarangan, terpana menyaksikannya.
      Tiba-tiba datang serombongan anak muda dari kampung sekitar.
      "Ini dia rayapnya! Ini dia Anai-anainya!" teriak mereka.
      "Bukan. Saya bukan Rayap, bukan!" bantahku.

      Mereka berteriak terus dan mendekatiku dengan sikap mengancam.
      Aku melarikan diri kencang-kencang.
      Mereka mengejarkan lebih kenjang lagi.
      Mereka menangkapku.
      "Ambil bensin!" teriak seseorang.
      "Bakar Rayap," teriak mereka bersama.
      Bensin berserakan dituangkan ke kepala dan badanku.
      Seseorang memantik korek api.
      Aku dibakar.
      Bau kawanan rayap hangus.
      Membubung ke udara.