Ada apa dengan 7 Juli 2007?
Bila ditulis dengan angka, 7 Juli 2007 akan tampak sebagai "07-07-2007" atau cukup "07-07-07". Penulisan seperti ini berlaku tidak hanya untuk penulisan tanggal a la Indonesia, tapi juga a la British. Keunikan ini yang membuat sekian juta manusia di planet ini berusaha membuat momen spesial pada tanggal tersebut.
Tentunya yang paling populer adalah mengadakan pernikahan pada tanggal 07-07-07. Ini tidak hanya berlaku di Indonesia saja, tapi juga di mancanegara. Di Jakarta sendiri, lalu lintas hari Sabtu yang biasanya cukup renggang kali ini bagaikan lalu lintas pada hari kerja. Lebih parah bahkan, mengingat pernikahan diadakan tak hanya di gedung-gedung, tapi juga hingga di gang-gang perumahan. Entah berapa ruas jalan yang telah tersita hari Sabtu lalu demi pernikahan, baik untuk menampung tamu maupun untuk parkir mobil. Macet di mana-mana pun tak terelakkan, sehingga rasanya Sabtu lalu sejak pagi hingga malam serasa bukan hari libur kerja.
Dari radio saya dengar cerita para mempelai yang menikah pada tanggal (yang menurut mereka) sakral itu mengenai perburuan mereka untuk mendapatkan gedung untuk acara pernikahan mereka pada tanggal tersebut. Betapa bahagianya mereka yang mendapatkan apa yang mereka idam-idamkan, sementara para calon mempelai yang gagal mendapat gedung untuk tanggal 07-07-07 menyuarakan kekecewaan mereka. Hm, mudah-mudahan saja mereka yang berhasil menikah pada tanggal tersebut memiliki pernikahan yang langgeng. Kalau tidak, tentunya 07-07-07 akan menjadi kenangan pahit dalam lembar hidup mereka :)
Adapun bagi saya, 07-07-07 menyisakan kenangan yang cukup manis. Well, sebenarnya "manis" tidak cukup. Perlu ditambahkan kata "norak" setelah kata "manis" tadi. Lho, kok?
Mengapa "manis"? Sabtu kemarin setelah pada siang harinya saya menemani Om saya ke salah satu plaza perbelanjaan di Jakarta (atau lebih tepatnya, Om saya itu yang menemani saya), saya mengira saya tidak akan pergi mengikuti ajakan teman SMA saya untuk menonton Jakarnaval*. Tapi dasar saya orangnya lumayan mudah dikompori, akhirnya jam 7 malam itu saya pun berangkat juga.
Sumber: Koleksi pribadi
Akhirnya setelah berganti-ganti kendaraan demi menghindari kemacetan yang (kata teman yang sudah tiba lebih dulu di Thamrin) telah mengintai, akhirnya sampai juga saya dan teman saya di jalan protokol Jakarta tersebut. Awalnya kami berniat makan malam dulu di McD, tapi demi melihat antriannya yang cukup panjang dan keluh-kesah para pengantri tentang lamanya mereka mengantri, batallah kami makan di sana. Saya pun mengajak teman saya makan di Dunkin Donuts, tapi ternyata pawai telah dimulai. Apa boleh buat, rasa lapar pun harus ditahan dulu demi menyaksikan tontonan setahun sekali ini.
Seperti jamaknya orang Indonesia, kerumunan warga yang hendak menonton pawai melimpah hingga mengisi hampir separuh badan jalan sehingga hanya sedikit ruang yang tersisa bagi mobil hias yang akan lewat. Terpaksa para pasukan polisi berkuda menghalau warga agar memberi ruang yang lebih lebar. Tapi beberapa menit kemudian, arak-arakan marching band yang datang dari utara lalu berbelok ke Jalan Wahid Hasyim membuat barisan yang tadinya telah merapat ke pinggir menjadi berantakan. Para warga menghambur menuju arah marching band, mengira bahwa lintasan karnaval tidak jadi melewati rute Balai Kota-Thamrin-Sudirman-Semanggi.
Ternyata warga kecele karena tak berapa lama rombongan peserta karnaval mulai tiba dan menyusur Jl. Thamrin. Dimulai oleh kedatangan defile pengendara sepeda ontel, rombongan mobil hias yang ditunggu-tunggu menyusul di belakangnya. Maka warga Jakarta pun bersorak-sorak, melambai-lambaikan tangan mereka menyambut lambaian tangan para Abang dan None Betawi yang menumpang mobil hias. Yang tak ketinggalan beraksi adalah para Mat Kodak dadakan alias para warga yang tak ingin kehilangan momen ini dengan mengabadikannya menggunakan perkakas sekenanya yang dapat digunakan untuk mengambil gambar. Tentunya handphone menjadi perkakas favorit, disusul selanjutnya dengan digital camera, baik yang canggih maupun yang murahan (milik saya, contohnya).
Saya tak ingat persis berapa lama mobil-mobil hias tersebut lewat di depan saya. Sepertinya sih sekitar 40 menit. Karena dengar-dengar arak-arakan tersebut akan kembali lagi setelah melewati Semanggi, saya dan teman-teman pun mencoba mengisi waktu hingga rombongan karnaval tadi kembali dengan mengunjungi Bundaran HI. Apalagi yang dicari di sana selain berfoto beramai-ramai. Nah, di sinilah bagian "norak" dari cerita saya muncul. Karena jiwa "bonek" saya sedang muncul, maka ketika salah satu teman mengajak untuk berpose bak patung Selamat Datang, saya pun langsung mengiyakan. Alhasil... Yah, lihat saja foto di bawah ini.
Sumber: Koleksi pribadi
Setelah menunggu hingga pukul 10 malam, ternyata mobil karnaval tak kunjung kembali. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang. Sebelum pulang, tentu saja... foto-foto lagi. Sesi foto-foto berakhir di depan Plaza Indonesia, dan 07-07-07 pun berlalu meninggalkan kesan yang dalam bagi saya dan... mengosongkan dompet (akibat terlalu banyak naik taksi, hiks).
*Jakarnaval ini adalah acara pawai mobil hias tahunan yang diadakan dalam rangka dirgahayu Jakarta. Karnaval yang tahun ini menginjak tahun penyelenggaraan kedua, dapat dianggap unik karena diadakan di malam hari.